Senin, 18 Mei 2015

Gaya Hidup Bikin Honor Tak Cukup

Saya terlalu gemes pada manusia satu ini. Tutur saja namanya Rini. Kerja keras sungguh dilakukannya, gaji dengan cukup sudah dia peroleh. Tapi kenapa semua itu tidak pernah ada ampasnya? Justru punya hutang di sana-sini. Perampok lubang tutup tempat sudah jadi sesi hidupnya bertahun-tahun. Sebab Rini cukup terkuak pada saya, oleh sebab itu memberi saran & cara-cara untuk siap sedikit demi segelintir keluar dari pilin hutang saya lakukan. Meskipun dia tetap manggut-manggut dan menyetujui apa yang abdi bilang itu betul semua, tetapi selamanya saja Rini lewat ke urusan yang serupa. Dia selalu kehilangan dan kekurangan duit, sering perlu tunggakan uang dan seluruh macam urusan finansial yang seabreg serta tidak pernah luruh. Itu yang bikin saya gemes.

Jika Rini tidak beroperasi atau pendapatannya naik-turun, masuk akal itu terjadi. Ini tidak! Ongkos Rini memang tak besar sekali, tapi bukan berarti tak cukup, karena banyak diantara kita yang gajinya setara dengan dia sedang bisa menabung, kok! Apa yang lengah pada Rini berikut? Gaya hidup dan ketidakmampuan mengelola keuangan. Dengan demikian penghasilan seberapa kendati dan memperoleh penyisipan gaji tak terselip pengaruhnya baginya. Demi uang di tangan, apa yang dipandang ingin dibelinya secara hasrat yang bukan terkendali. Tidak pakai itung-itungan, tak memakai pikir panjang sedang kalau sudah demi. Dia selalu pertama tersadar ketika uangnya habis. Ternyata duit itu juga sedang harus membayar kewajibannya yang lain. Jadilah dia menutup semua ini dengan berhutang lalu. Reaksinya jadi stress dan marah-marah di orang-orang di sekitarnya, menyesal dan menyalahkan diri sendiri.

Info teknologi update yang tak seimbang dengan penghasilan memang membawa masalah! Gaya hidup ini mulai menyelundupi kaum urban secara baru tinggal dalam perkotaan. Pemandangan pada sekelilingnya bak kedai yang menggoyang imannya. Rasa ingin memiliki barang-barang sekunder dengan meskipun tidak mempunyai juga tidak ada efeknya, sulit dibendung.

Sungguh, etalase! Etalase itu tidak selalu secara ada di toko. Mereka jadi tau ada barang trendi dan menarik atas temannya yang segar beli, dari bosnya yang punya kurang lebih itu, dari tetangga, dari jalanan, daripada mana-mana pokoknya. Rasa ingin memiliki, mencoba dan merasakan ternyata bisa membalikkan pikiran. Membuat orang bukan mau peduli dalam hitungan pendapatan dan pengeluaran. Akibatnya tentu, lebih besar pasak daripada tiang. Termengung di kepala dan punya masalah ekonomi akibat salah pengaturannya. Inilah penyakit yang tak tampak, tetapi sudah menggejala.



Pranata Sok Gengsi

Kedudukan bisa dimiliki siapa saja, tak pandang bulu. Dulu, pangkat terkait dengan manusia kaya yang memang bisa beli apa pun saja karena berduit. Sekarang sudah masuk, demi gengsi orang-orang sampai nekad mencoba di luar kesahajaan. Suka pakai barang-barang bermerek. Rutin kos busana yang lagi tren. Ganti smartphone yang terbaru. Bahwa ada cadangan dananya, ya aman-aman pula. Yang masalah, duit kebutuhan harian dengan dipakai. Ada sekolah negeri yang bebas, pilih yang swasta. Bisa makan dalam warung, pilih di kafe, dan itu rutin sehari-hari. Trendi kerja 2 kamar, asal gajinya pas buat bayar cicilan, nekat kredit sarana bermotor. Meskipun gak punya, berusaha diada-adakan. Hal ini pula didukung oleh kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh jasa keuangan buat bisa memiliki barang-barang itu secara mulus. Klop sudah!

Itu salah, tapi bukan menyadari. Kalau penghasilannya tak cukup hendak diusahakan mencari hutang, untuk menutupi naluri belanjanya yang bukan kontrol. Kalau telah hutang sana-sini. Tip sebesar apapun, mana bisa dinikmati sih. Wong cuma turun, lalu disetorkan lalu. Hanya lewat! Ini lah yang menyebabkan orang2 seperti Rini tetap bilang tak sempurna. Lha wong tak pernah menikmati gaji secara netto, disunat terus untuk tukar hutang, bayar kredit dan lain-lain.
referensi :
www.updatekeren.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Gaya_hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar