Sabtu, 28 Maret 2015

Oleh-oleh Utama yang Memikat Di Surabaya

Selesai pesawat touchdown beserta mulus di runway, terdengar suara serundai pramugari ‘Selamat hidup di bandara Juanda, Sidoarjo, bla-bla-bla’. Rupanya spirit otonomi ruang membuat kabupaten Sidoarjo tak rela bandar udara yang berlokasi dalam wilayahnya diaku serupa wilayah Surabaya. Setara halnya seperti bandara Soekarno-Hatta yang ‘diklaim’ oleh kabupaten Terjang, meskipun kita terus-menerus take for granted bahwa bandara ini berlokasi di Daerah khusus ibukota jakarta. Untuk saya, yang datang dalam rangka acara reuni SMA angkatan tahun 1970, sapaan ini wajar terdengar ‘Selamat berlabuh di kota Surabaya’.

Taksi resmi bandara berwarna biru tua renta membawa saya dan isteri ke metropolitan Surabaya. Dari omongan dengan supir taksi, saya mengetahui bahwa taksi ini dikelola oleh TNI-AL dan bersifat monopolistis. Siapa tahu undang-undang yang mematahkan TNI berbisnis sedang bisa diakali & dicari celahnya (loophole). Dan karena ‘dibawah kekuasaan’ TNI-AL, taksi-taksi dari luar bandara jangan coba-coba mengamankan penumpang di sini, kalau tak ingin mengidap ‘hukuman militer’. Pikir cerita, taksi yang ketahuan menyerobot penumpang akan dihukum mengungkung pelataran bandara sampai bensinnya habis, selesai itu si supir akan dihukum mengelak mengelilingi pelataran bandara sampai napasnya langsai dan terakhir dia harus mendorong seorangan mobil taksinya keluar bandara.

Bertemu dengan teman-teman lama setelah 42 tahun buyar memang sangat mengasyikkan. Seorang teman ketang bertanya apakah dalam waktu kita maktab dulu menggunakan norma Jawa atau tata susila Suroboyoan. Apakah betul2 ada bedanya? Tak pelak lagi betul2 ada perbedaan, meskipun kedengarannya seperti bertumpu. Dan ini benar waktu isteri beta yang ‘non Surabaya’ bercerita tentang isteri seorang keponakan yang tukeran. Karena diucapkan dengan ‘tukeran’, beta lantas bertanya tukeran dengan apa. Itu lho, bertengkar atau ribut mulut, omongan isteri saya. Rupanya dia mendapat perembukan dari seorang suku bahwa si Yanto tukaran sama isterinya. ‘Tukaran’ adalah kaidah Suroboyoan yang maknanya ‘bertengkar’ dan tidak ada kaitannya beserta soal tukar-menukar. Aku berdua saling tergelak setelah menyadari miscommunication gara-gara kata ‘tukaran’ ini.



Kata lain oleh oleh khas surabaya secara sering menimbulkan ‘salah sangka’ adalah perumpamaan kesel. Kata ‘kesel’ ini bermakna ‘capek atau penat’ & bukan bermakna ‘kesal atau jengkel’. Selesai berjam-jam berkeliling pada TP (Tunjungan Plaza), saya akan berperi ‘Kesel aku’, malahan di mal ini satu pun tak disediakan bangku hidup seperti lazimnya mal-mal di Jakarta. Namun demikian jangan terus ditanyakan ‘kesel sama siapa’, karena ya itulah, ‘kesel’ bermakna ‘capek’. Lalu ada tanda mekitik yang mengkritik perangai yang ‘sok-sokan, suka membual, serta omong besar’. Juga ada bahasa Suroboyoan ‘jeding’. Bila bertanya di mana sikat gigi dan dijawab ‘ada ndik jeding’, itu berarti rampas giginya ada di kamar mandi. Akur, jeding adalah tata susila khas Surabaya buat ‘kamar mandi’.

Sungguh pun mal-mal bertaburan di kota pahlawan ini, pasar-pasar konvensional masih tetap eksis dengan kekhasan masing-masing. Ada pasar Genteng yang merupakan sentrum segala jenis persembahan khas Surabaya. Terdapat juga pasar Atoom yang mungkin selevel dengan Pasar Zona Abang di Daerah khusus ibukota jakarta. Selagi berbelanja pada sana, saya tahu papan petunjuk yang tertulis ‘Toilet VIP’. Wah, kalau rela buang air kecil di sini, meski harus bayarnya? Rupanya saya salah kesangsian, karena ‘beaya’ untuk menggunakan toilet itu cuma seribu perak. Tetapi toilet terkait sangat bersih diantaranya restroom di hotel berbintang lima, menjadi pantas untuk melabeli dirinya ‘Toilet VIP’. Di Surabaya, saya juga ditraktir mencopet di resto ‘D’Cost’. Nama yang persangkaan ganjil untuk sebuah restoran. Semua macam makanan di sini lezat-lezat dan yang terpenting harganya sangat terjangkau. Jadi tak mencengangkan orang yang menjarah di sini berjubel dan sesuai dengan pamor yang disandangnya ‘D’Cost’. Kata orang slogan resto ‘D’Cost’ merupakan ‘restoran dengan selera bintang lima akan tetapi dengan harga tangan lima’.

referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar