Saya terlalu gemes pada manusia satu ini. Tutur saja namanya Rini. Kerja
keras sungguh dilakukannya, gaji dengan cukup sudah dia peroleh. Tapi
kenapa semua itu tidak pernah ada ampasnya? Justru punya hutang di
sana-sini. Perampok lubang tutup tempat sudah jadi sesi hidupnya
bertahun-tahun. Sebab Rini cukup terkuak pada saya, oleh sebab itu
memberi saran & cara-cara untuk siap sedikit demi segelintir keluar
dari pilin hutang saya lakukan. Meskipun dia tetap manggut-manggut dan
menyetujui apa yang abdi bilang itu betul semua, tetapi selamanya saja
Rini lewat ke urusan yang serupa. Dia selalu kehilangan dan kekurangan
duit, sering perlu tunggakan uang dan seluruh macam urusan finansial
yang seabreg serta tidak pernah luruh. Itu yang bikin saya gemes.
Jika Rini tidak beroperasi atau pendapatannya naik-turun, masuk
akal itu terjadi. Ini tidak! Ongkos Rini memang tak besar sekali, tapi
bukan berarti tak cukup, karena banyak diantara kita yang gajinya setara
dengan dia sedang bisa menabung, kok! Apa yang lengah pada Rini
berikut? Gaya hidup dan ketidakmampuan mengelola keuangan. Dengan
demikian penghasilan seberapa kendati dan memperoleh penyisipan gaji tak
terselip pengaruhnya baginya. Demi uang di tangan, apa yang dipandang
ingin dibelinya secara hasrat yang bukan terkendali. Tidak pakai
itung-itungan, tak memakai pikir panjang sedang kalau sudah demi. Dia
selalu pertama tersadar ketika uangnya habis. Ternyata duit itu juga
sedang harus membayar kewajibannya yang lain. Jadilah dia menutup semua
ini dengan berhutang lalu. Reaksinya jadi stress dan marah-marah di
orang-orang di sekitarnya, menyesal dan menyalahkan diri sendiri.
Info teknologi update yang tak seimbang dengan penghasilan memang membawa masalah! Gaya hidup
ini mulai menyelundupi kaum urban secara baru tinggal dalam perkotaan.
Pemandangan pada sekelilingnya bak kedai yang menggoyang imannya. Rasa
ingin memiliki barang-barang sekunder dengan meskipun tidak mempunyai
juga tidak ada efeknya, sulit dibendung.
Sungguh, etalase! Etalase itu tidak selalu secara ada di toko.
Mereka jadi tau ada barang trendi dan menarik atas temannya yang segar
beli, dari bosnya yang punya kurang lebih itu, dari tetangga, dari
jalanan, daripada mana-mana pokoknya. Rasa ingin memiliki, mencoba dan
merasakan ternyata bisa membalikkan pikiran. Membuat orang bukan mau
peduli dalam hitungan pendapatan dan pengeluaran. Akibatnya tentu, lebih
besar pasak daripada tiang. Termengung di kepala dan punya masalah
ekonomi akibat salah pengaturannya. Inilah penyakit yang tak tampak,
tetapi sudah menggejala.
Pranata Sok Gengsi
Kedudukan bisa dimiliki siapa saja, tak pandang bulu. Dulu,
pangkat terkait dengan manusia kaya yang memang bisa beli apa pun saja
karena berduit. Sekarang sudah masuk, demi gengsi orang-orang sampai
nekad mencoba di luar kesahajaan. Suka pakai barang-barang bermerek.
Rutin kos busana yang lagi tren. Ganti smartphone yang terbaru. Bahwa
ada cadangan dananya, ya aman-aman pula. Yang masalah, duit kebutuhan
harian dengan dipakai. Ada sekolah negeri yang bebas, pilih yang swasta.
Bisa makan dalam warung, pilih di kafe, dan itu rutin sehari-hari.
Trendi kerja 2 kamar, asal gajinya pas buat bayar cicilan, nekat kredit
sarana bermotor. Meskipun gak punya, berusaha diada-adakan. Hal ini pula
didukung oleh kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh jasa keuangan
buat bisa memiliki barang-barang itu secara mulus. Klop sudah!
Itu salah, tapi bukan menyadari. Kalau penghasilannya tak cukup
hendak diusahakan mencari hutang, untuk menutupi naluri belanjanya yang
bukan kontrol. Kalau telah hutang sana-sini. Tip sebesar apapun, mana
bisa dinikmati sih. Wong cuma turun, lalu disetorkan lalu. Hanya lewat!
Ini lah yang menyebabkan orang2 seperti Rini tetap bilang tak sempurna.
Lha wong tak pernah menikmati gaji secara netto, disunat terus untuk
tukar hutang, bayar kredit dan lain-lain.
referensi :
www.updatekeren.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Gaya_hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar